BANJIR DARAH PAJAJARAN SILIWANGI PART 1 | KISAH RUNTUHNYA KERAJAAN PAJAJARAN PRABU SILIWANGI


 Kisah kerajaan siliwangi telah tercantum dalam naskah Sunda Kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang telah ditulis pada tahun 1518 Masehi.


Menurut dari beberapa sumber istilah Siliwangi tidak tercantum dalam histori-histori primer, akan tetapi, kecuali pada naskah cerita Purwaka Caruban Nagari nama tersebut hanya ada dalam naskah sastra dan dalam naskah sastra sejarah (babad) yang termasuk jenis historiografi tradisional.


Salah satu sifat historiografi tradisional adalah mencampurkan kebenaran histori dengan kebenaran legenda. Artinya aspek sastra berbaur dengan aspek sejarah sehingga pakar menyebutnya sebagai karya sastra sejarah. Menurut pakar berdasarkan pada bukti-bukti historis yang ada tokoh Prabu Siliwangi bukanlah tokoh historis melainkan tokoh sastra sejarah. Artinya menurut pakar pula tokoh itu ada tetapi keberadaannya sudah dibumbui unsur sastra dan legenda.


Para pakar sejarah sunda memberikan identifikasi yang berbeda tentang tokoh sejarah yang terselimuti mitos tersebut. Pengidentikan para pakar selama ini memang baru pada wacana, belum pada cetak biru yang lebih tegas. Penunjukan tersebut berdasakan tafsiran pemaknaan terhadap kata "Siliwangi" secara etimologis serta perbandingan silsilah tahun keberadaan Prabu Siliwangi pada naskah sastra sejarah dengan naskah sejarah primer.


Secara etimologis, kata "Siliwangi" diartikan sebagai tokoh yang hilang jasadnya, yang kemudian muncul/datang lagi dengan hanya membawa nama atau keharuman namanya yang tersebar kemudian sili(h) = ganti, yang tergantikan, wangi = harum. Kata Siliwangi pertama diedentikan pada kepatriotan terpatri dan mewangi pada rakyat kerajaan sunda, sehingga dijulukilah itu sebagai Prabu Wangi.


Kata Siliwangi diidentikan masa kerajaan sunda berada pada masa kejayaan, kemakmuran, dan keemasan. Wajah dan tingkah laku raja sunda ini dikatakan sangat dicintai rakyatnya. Keadilan dan kebijaksanaan melestarikan pemerintahanya hampir 100 tahun lamanya. Putra mahkota dengan nama Sang Ratu Jayadewata ini pertama kali dinobatkan sebagai raja dengan gelar Prabu Guru Dewataprana, dan kemudian dinobatkan lagi dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Sri Ratu Dewata.


Raja Sunda ini pulalah yang kembali menyatukan kerajaan Sunda (Kerajaan Galuh - yang berpusat di Kawali dan Kerajaan Sunda - yang berpusat di Bogor) dan mempopulerkan Kerajaan Sunda dengan nama Pakuan Pajajaran. Beliau sangat terkenal memperhatikan kehidupan beragama, melindungi pemuka-pemuka agama, dan mengukuhkan tempat-tempat suci keagamaan. Pada pemerintahan beliau ini pula kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaan.


Kontrofersi sejarah ini bakal menguak misteri sejarah Sunda yang mengalami missing link (rantai terputus) mengakibatkan bangsa Sunda menjadi pareumeun obor (masa kegelapan sejarah) akan sejarah jati dirinya.


Mugi gusti nantayungan, lan karuhun marengan. Leluhur orang Sunda mengingatkan bagaimana seorang Sunda harus bisa mawas diri dan menjadi sosok yang budiman bukan untuk jadi seorang yang radikalis. 


Kita bisa baca misalkan soal Prasasti Citatih (Sanghyang Tapak) yang dibuka dengan menyebutkan watu dibuatnya prasasti tersebut. Isi prasasti tersebut mengingatkan agar bagaimana manusia menjaga alam atau misalkan kita bisa membaca Naskah Siksa Kandang Karesian soal bagaimana petuah-petuah bijaksana yang disampaiakn agar seorang Sunda selamat diBwana dan bahagia di Swargi.


Sri Baduga Maharaja atau biasa kita kenal sebagai Prabu Siliwangi merupakan Raja keraaan Pajajaran yang cukup dikenal oleh masyarakat Sunda. Di Kabupaten Garut, prabu Siliwangi memiliki salah satu cerita yaitu saat dikejar oleh anaknya, Prabu Santang atau Raden Sangara atau Syeh Sunan Rohmat Suci untuk diajak masuk islam. jejak intoleransi itu sebenarnya sudah tergambahkan. Tentu ini tidak menunjukan bahwa secara umum karakter orang Sunda hanya mungkin yang kita bisa tarik benang merahnya adalah orang Sunda jika sudah menyangkut kepercayaan/agama mereka akan mengabdikan dirinya secara total.


Begitu juga dengan Siliwangi, beliau seniri sudah punya keyakinan tentang sang pencipta. Keyakinan tersebut mungkin lebih dikenal dengan tritangtu. Tritangtu adalah konsep yang memiliki kesamaan dengan trimurti yakni adanya tiga hal dalam satu kesatuan. Dalam kosmologi, Tritangtu terdiri dari Rama, Ratu, resi. Dimana Resi adalah segala hal yang terkait dengan ketuhanan dan tata ibadah/keagamaan. Ratu adalah segala hal yang terkait pada urusan tata pemerintahan, dan Rama adalah segala hal yang terkait dengan pengetahuan praktikal.


Pakar sejarah berpendapat Tritangtu ialah keselarasan manusia, alam, dan tuhan. Selaras dengan itu pakar sejarah mengemukakan penjelasan lebih detail peran-peran antara Rama, Resi, dan Ratu. Rama memiliiki tugas sebagai representasi tuhan, mereka yang dipanggil rama adalah orang-raong yang telah meninggalkan urusan hasrat keduniawian, sehingga dianggap sebagai orang yang dapat mengasihi. Resi adalah mereka yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi dibidangnya masing-masing. Mereka adalah guru-guru yang mengajarkan suatu ilmuy dan dapat dianggap mengasah pribadi. Sedangkan ratu adalah representasi dari orang yang diamanati oleh Hyang dengan ekuatan dan sumber daya yang dimiliki mengasuh orang/rakyat.


Sili asah, asih, asuh adalah tata ajaran moral orang sunda yang sampai saat ini masih banyak dipegang secara sadar ataupun tidak. Sunda memang mengenal konsep dewata, namun dewata ini bukanlah entitas tuhan, sebagaimana yang ditulis dalam naskah Siksa Kandang Karesian, ratu bakti kadewata, dewata bakti ka hyang.


Ratu berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada Hyang. Hyang dapat dianggap sebagai entitas tuhan yang maha, berbeda dengan dewata yang kemahaannya terbatas oleh entitas dewa-dewa lainnya. Jejak intoleransi itu bisa kita telusuri dari kisah kehidupan Prabu Siliwangi (seorang raja yang beragama Hindu) yang mempersunting Nyi Subang Larang (yang beragama islam) yang merupakan putri Kiai Tapa, seorang syah Bandar di Karawang. Lalu dari pernikahan tersebut lahirlah 3 orang anak yang bernama Pangeran Walangsungsang, Nyi Lara santang dan Raden Santan. Kepada putra-putrinya yang lahir dari Nyi Subang Larang, prabu Siliwangi memberikan kebebasan utnuk menganut agama Islam. Baahkan ketiga putra-putri tersebut dibesarkan dalam tradisi islam yang kuat oleh Nyi Subang larang. 


Secara politik, Prabu Siliwangi menikahi putri seorang Syah Bandar adalah sebuah langkah strategis untuk memperlancar distribusi penjualan hasil bumi dari kerajaan Pajajaran ke luar daerah melalui pelabuhan Karawang. Hanya saja hal yang tidak disadari oleh Prabu Siliwangi adalah milityansi dari anak-anaknya terhadap agama yang mereka anut pada akhirnya akan membawa kehancuran kepada Kerajaan Pajajaran. karena dilingkungan keraton sangat kuat pengaruh agama Hindu, maka NyiSubang Larang memerintahkan ketiganya putra-putrinya ke Syekh Datuk Kahfi di Cirebon untuk berguru agama Islam secara lebih mendalam. 


Atas petunjuk Syekh Datuk kahfi maka ketiga  anaknya Prabu Siliwangi dari istri Nyi Subang Larang berangkat ke tanah suci utnuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari ibadah haji, Pangeran Walangsungsang mendirikan babakan atau wilayah permukiman baru di daerah Pakungwati Cirebon dan diangkat menjadi seorang Kuwu 9oleh sebagian orang menyebut Raden Walangsungsang dengan sebutan Kuwu Sangkan). Sedangkan adiknya, Nyi larang Santang sekembalinya dari tanah suci kemudian dipersunting oleh Syarif hidayatullah yang kelak dikenal dengan nama Sunan Gunung Djati. Lalu adik paling kecilnya yaitu Rakean Santang lebih suka mengembara dalam menyebarkan agama islam.


Keberhasilan Walangsungsang membangun babakan baru di Pkungwati Cirebon, telah sampai ketelinga Prabu Siliwangi dan hal ini jelas membawa kebanggaan tersendiri bagi raja Pajajaran yang berjiwa besar ini. Prabu Siliwangi menganugerahkan gelar Mangana kepada pangeran Walangsungsang. Tetapi kebesaran dari prabu Siliwangi ini dihianati oleh putranya sendiri, secara diam-diam pangeran Walangsungsang menyusun kekuatan balatentara dan bekerjasama dengan Kesultanan demak.


Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang cukup dan didukung oleh Kesultanan Demak, Pangeran Walangsungsang mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Cirebon dan menolak untuk melaksanakan seluruh kewajiban administratif sebagai wilayah bawahan Kerajaan Pajajaran. 


Hal ini tentu mengejutkan bagi Prabu Siliwangi, bagaimana bisa anak yang dibesarkannya dengan penuh kasih sayang melakukan pembangkangan kepadanya. Namun lagi-lagi Prabu Siliwangi menunjukkan kebesaran hatinya dengan membiarkan Kesultanan Cirebon hidup berdaulat, padahal semestinya menurut aturan kerajaan saat itu jika ada satu wilayah yang berada dibawah kekuasaannya melakukan pembangkangan maka akan dilakukan serangan militer untuk menyelesaikannya.


Kisah tersebut hampir mirip dengan Prabu Brawijaya 5 yang dihianati oleh Raja Demak Raden Patah. Sedangkan Kian Santang yang saat itu sedang berkelana menyebarkan agama Islam mendengar tentang berdirinya Kesultanan Cirebon yang didirikan oleh kakak sulungnya pangeran Walangsungsang. Dia merasa senang karena ayahandanya sepertinya merestui berdirinya Kesultanan Cirebon. Dan Kian Santang pu meminta Tanah Perdikan yang sekarang disebut Banten. Raja Siliwangi memberikan apa yang diminta Kian Santang.


Tetapi lagi-lagi Kebesaran jia Prabu Siliwangi disalah artikan oleh putra-putrinya, Kian Santang merasa bahwa setelah berhasil kakaknya mendirikan Kesultanan Cirebon, maka dirinya wajib melakukan hal yang lebih besar lagi yaitu mengislamkan seluruh wilayah Kerajaan Pajajaran dan itu bisa dimulai dengan mengislamkan ayahandanya Prabu Siliwangi.


Maka bergegaslah Kian Santang menuju ke Dayeuh Pakuan tempat tingginya Prabu Siliwangi dan menyampaikan tujuannya untuk mengajaknya masuk agama islam. Ajakan ini ditanggapi dengan bijaksaa oleh Prabu Siliwangi, "anaking aku memberi kebebasan kepada siapapun unutk memeluk agama yang diyakininya termasuk kepada ibumu, dirimu dan kakak-kakakmu, yang aku cemaskan hanyalah sifat keserakahan manusia, setelah memilih yang sati lalu memilih yang baru dan begitu seterusnya. Sementara aku adalah seorang raja yang menempatkan keyakinan sebagai sebuah kehormatan, tidak mudah bagiku untuk membolak-balikkanya."


Namun kian Santang tetap berkeras bahkan semakin lama ajakan itu berubah menjadi sebuah ancaman dan paksaan. Prabu Siliwangi adalah seorang raja yang bijaksana dan mempunyai ilmu kebatinan yang sangat tinggi, sehingga dia bisa merasakan bahwa Kian Santang sudah tidak bisa lagi diajak bicara baik-baik. Akhirnya ekspansi Islam besar-besaran melanda Pajajaran. Kerajaannya di Serang Banten, Cirebon edngan bala bantuan tentara Demak, Prabu Siliwangi akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Kian Santang dan Walangsungsang menuju pesisir kidul Garut. Namun Kian Santang sudah gelap mata, dengan menggunakan ilmu yang sama, dikejarnya Prabu Siliwangi lalu diserang secara membabi buta. Setelah pertempuran yang panjang Prabu Siliwangi mencoba untuk tidak melukai putranya sendiri, Kian Santang. 


Hingga akhirnya Prabu Siliwangi menghentikan pertempuran dan mengambil sepotong kayu kaboa (sebuah pohon yang hanya hidup di pesisir Sancang), lalu berkata, "Anaking, peganglah ujung pohon kaboa ini dan aku akan memegang ujung yang satunya." Ini adalah simbol dari tidak mungkin kedua ujung kayu itu bisa bertemu yang berarti bahwa tidak mungkin bagi Prabu Siliwangi untuk mengikuti ajakan Kian Santang.

 

"Anaking, dimana bumi dipijak, disitu langit aku junjung."  Lalu apakah aaran yang kau dapatkan dari sebrang harus memaksa seseorang untuk meyakininyya. Apakah itu semua bisa disebut ajaran mulia anaking..?  kalau anaking tetap memaksa, bunuh saja ramamu ini!!"


Kisah ini sangat dramatis dan akan dikenang selamanya, dimana seorang ayah rela mati demi kebahagiaan anaknya, walaupun dia seorang Raja yang sangat dihormati dan disegani rakyatnya. 


Ada beberapa versi cerita setelah kejadian tersebut ada yang menyebutkan Prabu Siliwangi berubah menjadi harimau putih dan ada versi yang menyebutkan Prabu Siliwangi paad akhirnya menghilang. Sejarawan dan Budayawan mengatakan bahwa proses pengejaran yang dilakukan oleh Kian Santang terhadap ayahnya itu berawal dari bogor dan berakhir di hutan Sancang, yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. 


Aksi pengejaran yang dilakukan Prabu Kian Santang dilakukan setelah ia memeluk agama Islam. Setelahnya ia mendapat tugas untuk bisa mengislamkan sang ayah yang merupakan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.


Dalam proses pengejaran terhadap Prabu Siliwangi di Garut, menurut sejarawan menjadikan sejumlah tempat saat ini dinamai dari hasil ucapan dan perilakunya. Hingga saat ini, nama-nama tersebut masih digunakan. "Jadi Prabu Siliwangi ini menurut cerita, saat akan diislamkan lari ke arah timur dan sampai di Garut." Disalah satu tempat yang mengarah keselatan Garut. Prabu Siliwangi beristirahat dan bersanding bersama pengikutnya. Tempat istirahat itu kini dinamai Muara Sanding (wilayah Kecamatan Garut Kota).


Setelah cukup merasa enak beristirahat, Prabu Siliwangi mengetahui anaknya akan segera sampai menyusul, karena tidak ingin tersusul, Prabu Siliwangi bersama pengikutnya kemudian melakukan perjalanan bawah tanah atau dikenal dengan istilah nerus bumi agar tidak ketahuan Prabu Kian Santang. Proses nerus bumi itu dilakukan sampai ke salah satu wilayah yang saat ini masuk Kecamatan Cilawu, Munjul. Nama munjul ini berasal dari kata muncul. jadi saat nerus bumi munculnya idaerah Munjul sekarang.


Setelah itu Prabu Siliwangi dan pengikutnya melakukan perjalanan biasa sampai ke wilayah yang saat ini masuk Kecamatan Bayongbong. Dilokasi tersebut sang pengikut merasakan ngantuk yang luar biasa sampai tertiur. 


Rupanya saat itu para pengikut diketahui sampai mendengkur atau dalam bahasa sunda disebut "kerek" karena saking capeknya. Lokasi tersebut saat ini diketahui bernama Paderek yang berasal dari ucapan "Pada Kerek".


Perjalanan pun kemudian dilanjutkan sang Raja hingga sampai di dataran tinggi, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Gunung Cikuray. Karena tinggi posisinya membuat dirinya sadar akan terlihat oleh anaknya sehingga mengingatkan pengikutnya "Awas bisi katembong atau berhati-hati terlihat oleh Prabu Kian Santang. karena ucapan itu, lokasi tersebut pun dinamai Desa Panembong, Kecamatan Bayongbong." 


Prabu Siliwangi saat itu bersama pengikutnya kemudian beristirahat diwilayah tersebut. tepatnya didaerah kabuyutan Ciburut dan sempat membuat tempat istirahat. Lokasi itu kini menjadi situs Ciburut. DItempat ini, sejarawan menyebutkan bahwa semua benda pusaka termasuk naskah kuno hingga saat ini masih ada. Dilokasiyang sama juga, diketahui terdapat sebuah batu yang dinamai batu pangsujudan atau batu tempat bersujud. Batu itu digunakan Prabu Siliwangi untuk bersemedi sebelum anaknya datang.


Ketika Prabu Kian Santang sampai pengejarannya disitus Ciburut ia menemukan batu persujudan tersebut dan menggunakan batu itu untuk bersujud, Prabu Siliwangi diketahui sudah bergerak jauh mengarah ke selatan Garut. Saat ini situs kabuyutan menurut pakar sejarah merupakan keberlangsungan budaya yang disana terdapat empat peninggalan budaya, mulai prasejarah, Hindu, Islam, dan kolonial.


Dijelaskan pakar sejarah bukti adanya peninggalan prasejrah adalah karena adanya punden, Untuk masa Hindu disana terdapat pertapaan dan juga naskah kuno. Lalu berlanjut perjalanan Prabu Siliwangi meneruskan perjalanannya sampai ke wilayah Sancang yang sekarang termasuk wilayah kecamatan Cibalong Kabupaten Garut.


Kawasan Sancang dulunya merupakan kerajaan yang dipimpin oleh Raja Lewa Dewata, diketahui merupakan sahabat karib dari Prabu Siliwangi. Di wilayah Sancang ini kemudian Prabu Siliwangi memagarinya dengan ajian halimun atau menghilang tanpa jejak atau di masyarakat kita dikenal denagn istilah "ngahiang". Ada cerita menyebutan Prabu Siliwangi menjilma menjadi harimau putih dan pengikutnya menjadi harimau sancang.


Saat wilayah sancang dipagari dengan ajian ilmu halimun maka yang awalnya merupakan sebuah kerajaan menjadi hutan lebat, sehingga sampai saat ini hutan tersebut dikeramatkan oleh warga. Semua itu dilakukan demi rakyatnya yang sangat ia cintai agar tidak tertangkap oleh gerombolan Kian Santang. Selain lokasinya keramat, ada juga tanaman kayu yang diyakini memiliki kekuatan magis yaitu kayu kaboa.


Keesokan harinya Prabu Siliwangi menghadang Kian Santang, agar semua pengikutnya aman dari kejaran dan pembunuhan dari Kian Santang serta pasukannya. lalu Prabu Siliwangi dibawa ke Keraton Pakuan di Bogor.

BANJIR DARAH PAJAJARAN SILIWANGI PART 1 | KISAH RUNTUHNYA KERAJAAN PAJAJARAN PRABU SILIWANGI BANJIR DARAH PAJAJARAN SILIWANGI PART 1 | KISAH RUNTUHNYA KERAJAAN PAJAJARAN PRABU SILIWANGI Reviewed by Ubed on 4/10/2022 11:54:00 AM Rating: 5

Tidak ada komentar